Jumat, 09 Juli 2010

SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU.

SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU.
. Pengayaan PPDS.
Pendahuluan
Bencana merupakan peristiwa yang biasanya mendadak (bisa perlahan) disertai jatuhnya banyak korban dan bila tidak ditangani dengan tepat akan menghambat, mengganggu dan merugikan masyarakat, pelaksanaan dan hasil pembangunan. Indonesia merupakan super market bencana. Bencana pada dasarnya karena gejala alam dan akibat ulah manusia. Untuk mencegah terjadinya akibat dari bencana, khususnya untuk mengurangi dan menyelamatkan korban bencana, diperlukan suatu cara penanganan yang jelas (efektif, efisien dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Ditingkat nasional ditetapkan Bakornas-PBP (sekarang Banas), Satkorlak-PBP dipropinsi dan Satlak-PBP dikabupaten kota. Unsur kesehatan tergabung didalamnya.

Dalam keadaan sehari-hari maupun bencana, penanganan pasien gadar melibatkan pelayanan pra RS, di RS maupun antar RS. Memerlukan penanganan terpadu dan pengaturan dalam sistem. Ditetapkan SPGDT-S dan SPGDT-B (sehari-hari dan bencana) dalam Kepres dan ketentuan pemerintah lainnya.

Disadari untuk peran jajaran kesehatan mulai tingkat pusat hingga desa memerlukan kesiapsiagaan dan berperan penting dalam penanggulangan bencana, mengingat dampak yang sangat merugikan masyarakat. Untuk itu seluruh jajaran kesehatan perlu mengetahui tujuan dan langlah-langkah kegiatan kesehatan yang perlu ditempuh dalam upaya kesiapsiagaan dan penanggulangan secara menyeluruh.

Tujuan
1. Didapatkan kesamaan pola pikir / persepsi tentang SPGDT.
2. Diperoleh kesamaan pola tindak dalam penanganan ksus gadar dalam keadaan sehari-
hari maupun bencana.

Pengertian
1. Safe Community, (SC) : Keadaan sehat dan aman yang tercipta dari, oleh dan untuk
masyarakat. Pemerintah dan teknokrat merupakan fasilitator dan pembina.
2. Bencana : Kejadian yang menyebabkan terjadinya banyak korban gadar, yang tidak da
pat dilayani oleh unit pelayanan kesehatan seperti biasa, terdapat kerugian material dan
terjadinya kerusakan infra struktur fisik serta terganggunya kegiatan normal
masyarakat.
3. Pasien gadar adalah pasien yang berada dalam ancaman kematian dan memerlukan
pertolongan segera.
4. SPGDT : Sistem penanggulangan pasien gadar yang terdiri dari unsur, pelayanan pra
RS, pelayanan di RS dan antar RS. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang
menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh
masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gadar dan
sistem komunikasi.
5. PSC (Public Safety Center) : Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat
dalam hal-hal yang berhubungan dengan kegadaran, termasuk pelayanan medis yang
dapat dihubungi dalam waktu singkat dimanapun berada. Merupakan ujung tombak
pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk mendapatkan respons cepat (quick re
sponse) terutama pelayanan pra RS.
6. BSB (Brigade Siaga Bencana) : Satuan tugas kesehatan yang terdiri dari petugas me
dis (dokter, perawat), paramedik dan awam khusus yang memberikan pelayanan kese
hatan berupa pencegahan, penyiagaan maupun pertolongan bagi korban bencana.
7. UGD (Unit Gawat Darurat) : Unit pelayanan di RS yang memberikan pelayanan pertama
pada pasien dengan ancaman kematian dan kecacadan secara terpadu dengan meli
batkan berbagai disiplin.
8. HCU (High Care Unit) : Unit pelayanan di RS yang melakukan pelayanan khusus bagi
pasien dengan kondisi respirasi, hemodinamik dan kesadaran yang sudah stabil dan
masih memerlukan pengobatan, perawatan dan pengawasan secara ketat.
9. URI (Unit Rawat Intensif) : Unit pelayanan di RS yang melakukan pelayanan khusus
bagi pasien gadar yang menggunakan berbagai alat bantu untuk mengatasi ancaman
kematian dan melakukan pengawasan khusus terhadap fungsi vital tubuh.

SAFE COMMUNITY
Pelayanan kasehatan di Indonesia beralih ke dan berorientasi pada paradigma sehat. Untuk mencapai hal tsb. dicanangkan program Safe Community oleh Depkes pada HKN 36 di Makassar. Adalah gerakan agar masyarakat merasa sehat, aman dan sejahtera dimanapun mereka berada yang melibatkan peran aktif himpunan profesi maupun masyarakat. Gerakan ini juga terkandung dalam konstitusi WHO.

Mempunyai dua aspek, care dan cure, Care adalah adanya kerja-sama lintas sektoral terutama jajaran non kesehatan untuk menata perilaku dan lingkungan di masyarakat untuk mempersiapkan, mencagah dan melakukan mitigasi dalam menghadapi berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan. Cure adalah peran utama sektor kesehatan dibantu sektor lain terkait dalam upaya melakukan penanganan keadaan dan kasus-kasus gadar.

Kemampuan masyarakat melakukan pertolongan pertama yang cepat dan tepat pra RS merupakan awal kegiatan penanganan dari tempat kejadian dan dalam perjalanan ke RS untuk mendapatkan pelayanan yang lebih efektif di RS.

Melalui gerakan SC diharapkan dapat diwujudkan upaya-upaya untuk mengubah perilaku mulai dari kelompok keluarga, kelompok masyarakat dan lebih tinggi hingga mencapai seluruh masyarakat Indonesia. Gerakan ini harus dikembangkan secara sistematis dan berkesinambungan dengan mengikutsertakan berbagai potensi. Gerakan ini ditunjang komponen dasar : Subsistem komunikasi, transportasi, yankes maupun non kesehatan termasuk biaya yang bersinergi.

Sistem yang dikembangkan Depkes adalah pengembangan model dan pembuatan standar maupun pedoman yang diperlukan. Daerah memiliki peluang menyusun rencana kesehatan sesuai kebutuhan dan kemampuan masyarakatnya.

Visi gerakan SC
Menjadi gerakan di masyarakat yang mampu melindungi masyarakat dalam keadaan kedaruratan sehari-hari dan melindungi masyarakat dalam situasi bencana maupun atas dampak akibat terjadinya bencana, sehingga tercipta perilaku masyarakat dan lingkungan sekitarnya untuk terciptanya situasi sehat dan aman.

Misi gerakan SC
1. Mendorong terciptanya gerakan masyarakat untuk menjadi sehat, aman dan sejahtera.
2. Mendorong kerja-sama lintas sektor dan program dalam gerakan mewujudkan
masyarakat sehat dan aman.
3. Mengembangkan standar nasional dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
4. Mengusahakan dukungan pendanaan bidang kesehatan dari pemerintah, bantuan luar
negeri dan bantuan lain dalam rangka pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan
kesehatan terutama dalam keadaan darurat. Menata sistem pendukung pelayanan ke
sehatan pra RS dan playanan kesehatan di RS dan seluruh unit pelayanan kesehatan
di Indonesia.

Nilai dasar
1. SC meliputi aspek care (pencegahan, penyiagaan dan mitigasi),
2. Equity, adanya kebersamaan dari institusi pemerintah, kelompok/organisasi profesi dan
masyarakat dalam gerakan SC.
3. Partnership, menggalang kerja-sama lintas sektor dan masyarakat untuk mencapai tu
juan dalam gerakan SC.
4. Net working, membangun suatu jaring kerja-sama dalam suatu sistem dengan melibat
kan seluruh potensi yang terlibat dalam gerakan SC.
5. Sharing, memiliki rasa saling membutuhkan dan kebersamaan dalam memecahkan se
gala permasalahan dalam gerakan SC.

Maksud
Memberikan pedoman baku bagi daerah dalam melaksanakan gerakan SC agar terciptanya masyarakat sehat, aman dan sejahtera.

Tujuan
1. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam gerakan SC dan menata perilaku
masyarakat dan ingkungannya menuju perilaku sehat dan aman.
2. Membangun SPGDT yang dapat diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat.
3. Membangun respons masyarakat pada pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat
melalui pusat pelayanan terpadu antara lain PSC dan potensi penyiagaan fasilitas ke
sehatan serta peran serta masyarakat dalam menghadapi bencana.
4. Mempercepat response time kegadaran untuk menghindari kematian dan kecacadan
yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Sasaran yang ingin dicapai
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kepedulian masyarakat dan profesi kese
hatan dalam kewaspadaan dini kegadaran.
2. Terlaksananya koordinasi lintas sektor terkait dalam SPGDT, baik untuk keamanan dan
ketertiban (kepolisian), unsur penyelamatan (PMK) dan unsur kesehatan (RS, Puskes
mas, ambulans dll) yang tergabung dalam satu kesatuan dengan mewujudkan PSC.
3. Terwujudnya subsistem komunikasi dan transportasi sebagai pendukung dalam satu
sistem, SPGDT.

Falsafah dan Tujuan Organisasi dalam SC
1. Gerakan SC diwujudkan untuk memberikan rasa sehat dan aman dengan melibatkan
seluruh potensi masyarakat serta memanfaatkan kemampuan dan fasilitas pada pela-
yanan kesehatan pra RS dan RS atau antar RS secara optimal.
2. Merubah perilaku mulai dari anggota keluarga, kelompok hingga yang lebih tinggi se
cara berjenjang agar mampu menanggulangi kegadaran sehari-hari.
3. Ada visi, misi, tujuan dan sasaran.
4. Menggunakan motto time saving is life and limb saving dan kemampuan rehabilitasi
pasca keadaan gadar sebagai bagian upaya mewujudkan rasa sehat dan aman bagi
masyarakat.

Ketentuan umum dalam pengorganisasian
1. Organisasi gerakan SC didaerah didasarkan pada organisasi yang melibatkan multi
disiplin dan multi profesisi.
2. Terdapat unsur pimpinan/wakil, sekretaris, bendahara dan anggota.
3. Minimal melibatkan unsur keamanan dan ketertiban (kepolisian, penyelamatan/PMK
dan kesehatan, dan kemudian dilibatkan unsur lain seperti keselamatan dan kesehatan
kerja karyawan dan humas.

Administrasi dan pengelolaan
1. Harus ada struktur serta uraian tugas, pembagian kewenangan dan mekanisme hu-
bungan kerja dengan unit lain.
2. Unit kerja terkait al. jajaran kesehatan, kepolisian, PU, keselamatan kerja dan tenaga
kerja, telekomunikasi, ormas (ORARI, RAPI, PMI dll).
3. Adanya ketetapan produk hukum, merupakan dasar mencapai visi, misi dan tujuan.
4. Adanya petunjuk dan informasi yang disediakan bagi masyarakat untuk mejamin kemu
dahan dan kelancaran dalam memberikan pelayanan di masyarakat.
5. Ada PSC sebagai unit pelaksana yang berfungsi untuk respons cepat kegadaran di
masyarakat.

Staf dan pimpinan
1. Gerakan SC diselenggarakan oleh seluruh komponen masyarakat dengan kepala
daerah menetapkan keberadaan organisasi ini dengan SK.
2. Organisasi dimaksud adalah PSC yang dibangun disetiap daerah.
3. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang ditetapkan sesuai kebutuhan.

Fasilitas dan Peralatan
1. Fasilitas yang disediakan harus dapat menjamin efektifitas bagi pelayanan kepada
masyarakat termasuk pelayanan UGD di RS dengan waktu pelayanan 24 jam.
2. Sarana dan prasarana, peralatan dan obat yang disiapkan sesuai dengan standard
yang ditetapkan Depkes.
3. Adanya subsistem pendukung baik komunikasi, transportasi termasuk ambulans dan
keselamatan kerja.

Kebijakan dan prosedur
1. Tertulis agar dapat dievaluasi dan disempurnakan.
2. Ditetapkan kebijakan pelayanan kasus gadar pra RS, RS dan rujukannya termasuk
adanya perencanaan RS dalam penanganan bencana (Hospital disaster plan).
3. Ditetapkan adanya PSC ditiap daerah dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan de-
ngan keselamatan kerja dan kegadaran sehari-hari.

SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU

Umum
Sistem yang merupakan koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) dan didukung berbagai kegiatan profesi (multi disiplin dan multi profesi) untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu bagi penderita gadar baik dalam keadaan bencana maupun sehari-hari. pela-yanan medis sistem ini terdiri 3 subsistem yaitu pelayanan pra RS, RS dan antar RS.

Sistem pelayanan Medik Pra RS
Dengan mendirikan PSC, BSB dan pelayanan ambulans dan komunikasi.

Pelayanan sehari-hari :
- PSC. Didirikan masyarakat untuk kepentingan masyarakat. Pengorganisasian dibawah Pemda. SDM berbagai unsur tsb. ditambah masyarakat yang bergiat dalam upaya pertolongan bagi masyarakat. Biaya dari masyarakat. Kegiatan menggunakan perkembangan teknologi, pembinaan untuk memberdayakan potensi masyarakat, komunikasi untuk keterpaduan kegiatan. Kegiatan lintas sektor. PSC berfungsi sebagai respons cepat penangggulangan gadar.
- BSB. Unit khusus untuk penanganan pra RS, khususnya kesehatan dalam bencana. Pengorganisasian dijajaran kesehatan (Depkes, DInkes, RS), petugas medis (perawat, dokter), non medis (sanitarian, gizi, farmasi dll). Pembiayaan dari instansi yang ditunjuk dan dimasukkan APBN/APBD.
- Pelayanan Ambulans. Terpadu dalam koordinasi dengan memanfaatkan ambulans Puskesmas, klinik, RB, RS, non kesehatan. Koordinasi melalui pusat pelayanan yang disepakati bersama untuk mobilisasi ambulans terutama dalam bencana.
- Komunikasi. Terdiri dari jejaring informasi, koordinasi dan pelayanan gadar hingga seluruh kegiatan berlangsung dalam sistem terpadu.
- Pembinaan. Berbagai pelatihan untuk meningkatan kemampuan dan keterampilan bagi dokter, perawat, awam khusus. Penyuluhan bagi awam.

Pelayanan pada bencana, terutama pada korban massal
- Koordinasi, komando. Melibatkan unit lintas sektor. Kegiatan akan efektif dan efisien bila dalam koordinasi dan komando yang disepakati bersama.
- Eskalasi dan mobilisasi sumber daya. Dilakukan dengan mobilisasi SDM, fasilitas dan sumber daya lain sebagai pendukung pelayanan kesehatan bagi korban.
- Simulasi. Diperlukan protap, juklak, juknis yang perlu diuji melalui simulasi apakah dapat diimplementasikan pada keadaan sebenarnya.
- Pelaporan, monitoring, evaluasi. Penanganan bencana didokumentasikan dalam bentuk laporan dengan sistematika yang disepakati. Data digunakan untuk monitoring dan evaluasi keberhasilan atau kegagalan, hingga kegiatan selanjutnya lebih baik.

Sistem Pelayanan Medik di RS
1. Perlu sarana, prasarana, BSB, UGD, HCU, ICU, penunjang dll.
2. Perlu Hospital Disaster Plan, Untuk akibat bencana dari dalam dan luar RS.
3. Transport intra RS.
4. Pelatihan, simulasi dan koordinasi adalah kegiatan yang menjamin peningkatan ke
mampuan SDM, kontinuitas dan peningkatan pelayan medis.
5. Pembiayaan diperlukan dalam jumlah cukup.

Sistem Pelayanan Medik Antar RS.
1. Jejaring rujukan dibuat berdasar kemampuan RS dalam kualitas dan kuantitas.
2. Evakuasi. Antar RS dan dari pra RS ke RS.
3. Sistem Informasi Manajemen, SIM. Untuk menghadapi kompleksitas permasalahan da
lam pelayanan. Perlu juga dalam audit pelayanan dan hubungannya dengan penunjang
termasuk keuangan.
4. Koordinasi dalam pelayanan terutama rujukan, diperlukan pemberian informasi kea
daan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan sebelum pasien ditranportasi ke RS tujuan.

Hal-hal khusus
1. Petunjuk Pelaksanaan Permintaan dan Pengiriman bantuan medik dari RS rujukan.
2. Protap pelayanan Gadar di tempat umum.
3. Pedoman pelaporan Penilaian Awal/Cepat.

PUBLIC SAFETY CENTER

Diadakannya PSC dilandasi aspek time management sebagai implementasi time saving is life and limb saving yang mengandung unsur kecepatan atau quick respons dan ketepatan berupa mutu pelayanan yang sesuai standar. Unsur kecepatan dipenuhi oleh subsistem transportasi dan komunikasi handal sedang unsur ketepatan dipenuhi oleh kemampuan melakukan pertolongan penderita gadar (PPGD) meliputi basic life support dan advance life support sesuai masalah yang dihadapi. Pelayanan bersifat gratis dan begitu sampai RS, berlaku sistem pembayaran yang berlaku. Awak ambulans PSC berstandar BLS dan ALS.

Peran Dirjen Bina Yanmed Depkes
Tujuan pembangunan kesehatan antaranya memperbaiki kualitas pelayanan diseluruh daerah dan seluruh fasilitas pelayanan. Pelayanan medik diberikan pada individu berupa upaya promotif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat continuum (terus menerus). Pela-yanan medik dasar berupa pencegahan primer (health promotion dan specific protection) oleh tenaga medik maupun non medik. Pencegahan sekunder berupa deteksi dini dan pengobatan serta pembatasan cacad, serta pencegahan tertier berupa rehabilitasi medik maksimal oleh dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lain. Yanmed dasar merupakan basis dari sistem rujukan medik spesialistik.

Hubungan Kebijakan Depkes dengan pelayanan pada masyarakat
Arah dan kebijakan pembangunan kesehatan yang ditetapkan Menkes lebih menekankan pada upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan tanpa mengabaikan pelayanan penyembuhan dan rehabilitasi untuk mencapai visi Indonesia Sehat 2010. Berdasar PP 25/2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan propinsi dan Kepmenkes 130/2000 tentang Organisasi dan cara kerja Depkes, maka yanmed dalam pembangunan kesehatan memerlukan :
1. Penetapan pedoman sertifikasi teknologi yanmed.
2. Penetapan pedoman penerapan, penapisan dan pengembangan teknologi dan standar
etika medik.
3. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana yanmed.
4. Penetapan standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan.
5. Penetapan pedoman pembiayaan yanmed.

Paradigma yanmed unggulan menganut pada (mengacu pada dasar-dasar bangkes tsb.):
1. Pergeseran orientasi dari professional driven menjadi client driven, klien yang semula objek menjadi subjek pelayanan. Otonomi klien sangat diutamakan seperti pada informed consent yang berupa pemberian informasi timbal balik seimbang. Hubungan provider dan client merupakan dasar yanmed. Kepuasan klien merupakan fokus pelayanan yang menjamin kesembuhan, penurunan keluhan dan atau peningkatan kesehatan. Client driven approach merupakan lingkungan kondusif dalam menciptakan budaya mutu dari institusi yanmed.
2. Yanmed terintegrasi adalah pelayanan holistic-continuum yang akan meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan, termasuk pertimbangan biaya. Manajemen profesional memacu sinergi seluruh sumber daya.
3. Evidence based medicine adalah yanmed yang dilaksanakan profesional mengacu pada fakta yang benar, dapat dipercaya yang diinformasikan pada klien dan akan melandasi keputusan dan tindakan profesional yanmed.
4. Medicine by law. Industri pelayanan medik mengandung unsur ekonomi, sosial, profesional. Transaksi yanmed tidak sama dengan transaksi umum yang mengandung kepastian. Walaupun pasien ditangani lege artis dapat saja terjadi kematian dan kecacadan. Undang-undang perlindungan konsumen tidak dapat diterapkan dalam yanmed. Untuk itu hukum yanmed perlu dikembangkan secara adil baik dari sisi provider maupun klien. Hukum dan perundangan dalam yanmed tsb. sebagi landasan medicine by law yang merupakan risk management menuju pelayanan prima.

Hubungan kebijakan Depkes dengan PSC
Menyediakan pelayanan prima pra RS. Menyediakan dokter yang memiliki kemampuan BLS dan ALS. Mengusahakan geomedic mapping yang merupakan pemetaan sumberdaya sarana dan prasarana kesehatan (SDM, biaya, teknologi) serta lokasi permasa-lahan, akan mempermudah koordinasi dan penggerakan sumberdaya kesehatan dan non kesehatan. Pelayanan yang baik terkait dengan komunikasi dan transportasi terutama dalam bencana. Koordinasi dengan polisi/SAR-PMK diperlukan. Koordinasi dengan unsur yang ditetapkan pemerintah yaitu Bakornas/Banas, Satkorlak, Satlak PBP hingga terjadi sinergi, efisiensi dan mutu penanggulangan.

Strategi pembentukan dan pengembangan PSC
1. Administrasi dan manajemen. Pengembangan visi, misi, strategi, kebijakan dan langkah-langkah. Memuat berbagai peraturan perundangan pembagian tugas kewajiban kewenangan dan tanggung-jawab antara unsur struktural tingkat pusat, propinsi, kabupaten-kota, termasuk sarana-prasarana yang berhubungan dengan transportasi, maupun yankes pra RS hingga RS. Diperlukan peran serta awam, awam khusus, asuransi, yang akan terkait dalam mengatur prosedur dan hubungan kerja. Pengembangan standar pelayanan, skreditasi dan srtifikasi PSC dipelukan. Dikembangkan hubungan kerja-sama (partnership, networking, communicating, sharing) dengan instansi terkait yang berperan pada PSC.
2. SDM. Memacu sistem perencanaan pengadaan, pemanfaatan serta pengembangannya sehingga tercipta hubungan yang tepat, link and match, dengan kebutuhan setempat. SDM didapat dari pengembangan nasional atau daerah. Profesionalisme diatur perun-dangan. Dibuat ketentuan tentang sertifikasi, ijazah keahlian, akreditasi diklat serta penataan jabatan struktural dan fungsional yang proporsional. Dikembangkan emergency and disaster medicine untuk memenuhi kebutuhan daerah/nasional.
3. Teknologi. Pengembangan teknologi medik dan non medik dan penunjangnya. Melalui sistem penapisan, pemanfaatan, modifikasi serta penguasaannya terencana.
4. Pembiayaaan. Baik terhadap public goods, public private maupun private goods ditata melalui sistem prabayar seperti JPKM, asuransi, out of pocket, subsidi.

Kata kunci perencanaan terbentuknya PSC, merupakan unsur essensial PSC yang akan menjamin terwujudnya SC, al:
1. Save community.
2. Time saving is life and limb saving.
3. Preparedness, prevention, mitigation, quick response dan rehabilitation.
4. Administrasi-manajemen, SDM, teknologi dan pembiayaan.

TANGGAP DARURAT BENCANA

Pengertian
1. Korban massal. Korban relatif banyak akibat penyebab yang sama dan perlu perto-
longan segera dengan kebutuhan sarana, fasilitas dan tenaga yang lebih dari yang ter
sedia. Tanpa kerusakan infra struktur.
2. Bencana. Mendadak / tidak terencana atau perlahan tapi berlanjut, berdampak pada
pola kehidupan normal atau ekosistem, hingga diperlukan tindakan darurat dan luar bi
asa untuk menolong dan menyelamatkan korban dan lingkungannya. Korban banyak,
dengan kerusakan infra struktur.
3. Bencana kompleks. Bencana disertai permusuhan yang luas, disertai ancaman kea
manan serta arus pengungsian luas. Korban banyak, kerusakan infra struktur, disertai
ancaman keamanan.

Masalah saat bencana
1. Keterbatasan SDM. Tenaga yang ada umumnya mempunyai tugas rutin lain
2. Keterbatasan peralatan / sarana. Pusat pelayanan tidak disiapkan untuk jumlah korban
yang besar.
3. Sistem Kesehatan. Belum disiapkan secara khusus untuk menghadapi bencana.

Fase pada Disaster Cycle
1. Fase Impact / bencana. Korban jiwa, kerusakan sarana-prasarana, infra struktur, tata- nan sosial sehari-hari.
2. Fase Acute Response / tanggap segera :
a. Acute emergency response. Rescue, triase, resusitasi, stabilisasi, diagnosis, terapi definitif.
b. Emergency relief. Mamin, tenda untuk korban sehat.
c. Emergency rehabilitation. Perbaikan jalan, jembatan dan sarana dasar lain untuk pertolongan korban.
3. Recovery. Pemulihan.
4. Development. Pembangunan.
5. Prevention. Pencegahan.
6. Mitigation. Pelunakan efek bencana.
7. Preparedness. Kesiapan menghadapi bencana.

Perlindungan diri bagi petugas
- Prinsip Safety.
a. Do no further harm.
b. Safety diri saat respons kelokasi. Alat pengaman, rotator selalu hidup, sirine hanya saat mengambil korban, persiapan pada kendaraan, parkir 15 m dari lokasi (ke bakaran : 30 m, perhatikan arah angin).
c. Safety diri ditempat kejadian. Minimal berdua. Koordinasi dengan fihak terkait, cara mengangkat pasien, proteksi diri.
d. Safety lingkungan. Waspada bahaya yang mengancam.

- Protokol Safety
1. Khusus. Atribut, tanda pengenal posko-ambulans, perangkat komunikasi khusus tim,
jaring kerjasama dengan keamanan, hanya masuk daerah yang dinyatakan aman.
Pada daerah konflik hindari menggunakan kendaraan keamanan, ambil jarak dengan
petugas keamanan. Utamakan pakai kendaraan kesehatan / PMI.
2. Umum. Koordinasi dengan instansi setempat, KIE netralitas, siapkan jalur penyela
matan diri yang hanya diketahui tim, logistik cukup, kriteria kapan harus lari.

Posko Pelayanan Gadar Bencana
1. Penyediaan posko yankes oleh petugas yang berhadapan langsung dengan
masyarakat. Perhatikan sarat-sarat mendirikan posko.
2. Penyediaan dan pengelolaan obat.
3. Penyediaan dan pengawasan makanan dan minuman.

Rapid Health Assessment (RHA)
Pengertian
Penilaian kesehatan cepat melalui pengumpulan informasi cepat dan analisis besaran masalah sebagai dasar mengambil keputusan akan kebutuhan untuk tindakan penanggulangan segera.

Tujuan RHA
Penilaian cepat sesaat setelah kejadian untuk mengukur besaran masalah kesehatan akibat bencana atau pengungsian, hasilnya berbentuk rekomendasi untuk digunakan dalam pengambilan keputusan penanggulangan kesehatan selanjutnya.
Secara khusus menilai jenis bencana, lokasi, penduduk terkena, dampak yang telah / akan terjadi, kerusakan sarana yang menimbulkan masalah, kemampuan sumberdaya untuk mengatasi masalah, kemampuan respons setempat.

Ruang lingkup
Medis, epidemiologis, lingkungan.

Penyusunan instrumen
Berbeda untuk tiap jenis kejadian, namun harus jelas tujuan, metode, variabel data, ke-rangka analisis, waktu pelaksanaan dan instrumen harus hanya variabel yang dibutuhkan.
Variabel : Lokasi, waktu kejadian, jumlah korban dan penyebarannya, lokasi pengungsian, masalah kesehatan dan dampaknya (jumlah tewas, jumlah luka, jumlah kerusakan sarana, endemisitas setempat, potensi air bersih, kesiapan sarana yankes, ketersediaan logistik, upaya kesehatan yang telah dilakukan, fasilitas evakuasi, kesiapan tenaga, geografis, bantuan awal yang diperlukan, kemampuan respons setempat, hambatan yang ada).

Pengumpulan data
1. Waktu. Tergantung jenis bencana.
2. Lokasi. Lokasi bencana, penampungan, daerah sekitar sebagai sumber daya.
3. Pelaksana / Tim RHA. Medis, epidemiologi, kesling, bidan/perawat, sanitarian yang bisa
bekerjasama dan memiliki kapasitas mengambil keputusan.

Metode RHA
Pengumpulan data dengan wawancara dan observasi langsung.

Analisis RHA
Diarahkan pada faktor risiko, penduduk yang berisiko, situasi penyakit dan budaya lokal, potensi sumber daya lokal, agar diperoleh gambaran.
1. Luasnya lokasi, hubungan transportasi dan komunikasi, kelancaran evakuasi, rujukan
dan pertolongan, dan pelayanan kesehatan.
2. Dampak kesehatan (epidemiologi). Angka kematian-luka, angka yang terkena dan perlu
pertolongan, penyakit menular berpotensi KLB.
3. Potensi sarana pelayanan. Kemampuan sarana kesehatan terdekat.
4. Potensi sumber daya kesehatan setempat dan kemugkinan mendapatkan bantuan.
5. Potensi sumber air dan sanitasi.
6. Kesediaan logistik. Yang masih ada dan yang diperlukan.

Rekomendasi
Berdasar analisis. Segera disampaikan pada yang berwenang mana yang bisa diatasi sendiri, mana yang perlu bantuan.
Obat-bahan-alat, medik-paramedik-surveilans-sanling, pencegahan-immunisasi, ma-min, sanling, kemungkinan KLB, koordinasi, jalur komunikasi, jalur koordinasi, bantuan lain untuk mendukung kecukupan dan kelancaran pelayanan.

PUSTAKA
1. Seri Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) / General Emergency Life Support (GELS) : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan ketiga. Dirjen Bina Yanmed Depkes RI, 2006.
2. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community modul 4). Depkes RI, 2006.

Kamis, 08 Juli 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN HIRSPRUNG

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN HIRSPRUNG

Pengertian

Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily & Sowden : 2000 ). Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan 3 Kg, lebih banyak laki –£terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).

Etiologi

Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197).

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.

Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).

Manifestasi Klinis

Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).

Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).

1. Anak – anak

a. Konstipasi
b. Tinja seperti pita dan berbau busuk
c. Distenssi abdomen
d. Adanya masa difecal dapat dipalpasi
e. Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ).

Komplikasi
a. Obstruksi usus
b. Konstipasi
c. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
d. Entrokolitis
e. Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197)

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :
a Daerah transisi
b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c Entrokolitis padasegmen yang melebar
d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 )
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )
3. Biopsi otot rektum
Yaitu pengambilan lapisan otot rektum
4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus
( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 )
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan

Penatalaksanaan
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama ( Betz Cecily & Sowden 2002 : 98 )
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah ( Darmawan K 2004 : 37 )
2. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang ( FKUI, 2000 : 1135 )
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )

Konsep Tumbuh Kembang Anak
Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 – 3 tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur 2 – 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 ) berdasarkan teori peaget bahwa masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu menggunakan simbul melalui kata – kata, mengingat sekarang dan akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan egesenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama berkaitan dengan masalah–masalah secara logis, tetapi dalam situasi bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat ( gram, pounnd, kilogram ). Ukuran panjang ( cm, meter ). Umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalium dan nitrogen tubuh ). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan ( Soetjiningsih, 1998: 1 ).
Pada pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2 Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira – kira 7,5 cm/ tahun. Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok. Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ).

1. Strategi Pengurangan Dampak Hospitalisasi Pada Usia Todler
Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar, bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman.
Pada usia ini juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang peralatan ) menggunakan permainan.
Pada usia ini menjadikan hubungan yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S 2004).

2. Fokus Intervensi
a. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces ( Wong, Donna, 2004 : 508 )
Tujuan :
1. anak dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adaptasi sampai fungsi eliminasi secara normal dan bisa dilakukan
Kriteria Hasil
1. Pasien dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adapatasi
2. Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik
Intervensi :
1. Berikan bantuan enema dengan cairan Fisiologis NaCl 0,9 %
2. Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali
3. Observasi pengeluaran feces per rektal – bentuk, konsistensi, jumlah
4. Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses
5. Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan

b. Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah
Tujuan :
1. Pasien menerima asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan
Kriteria Hasil
1. Berat badan pasien sesuai dengan umurnya
2. Turgor kulit pasien lembab
3. Orang tua bisa memilih makanan yang di anjurkan
Intervensi
1. Berikan asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan
2. Ukur berat badan anak tiap hari
3. Gunakan rute alternatif pemberian nutrisi ( seperti NGT dan parenteral ) untuk mengantisipasi pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah

c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang (Betz, Cecily & Sowden 2002:197)
Tujuan :
1. Status hidrasi pasien dapat mencukupi kebutuhan tubuh
Kriteria Hasil
1. Turgor kulit lembab.
2. Keseimbangan cairan.
Intervensi
1. Berikan asupan cairan yang adekuat pada pasien
2. Pantau tanda – tanda cairan tubuh yang tercukupi turgor, intake – output
3. Observasi adanay peningkatan mual dan muntah antisipasi devisit cairan tubuh dengan segera
d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. (Whaley & Wong, 2004 ).
Tujuan : pengetahuan pasien tentang penyakitnyaa menjadi lebih adekuat
Kriteria hasil :
1. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnyaa, perawatan dan obat – obatan. Bagi penderita Mega Colon meningkat daan pasien atau keluarga mampu menceritakanya kembali
Intervensi
1. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal – hal yang ingn diketahui sehubunagndengan penyaakit yang dialami pasien
2. Kaji pengetahuan keluarga tentang Mega Colon
3. Kaji latar belakang keluarga
4. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat – obatan pada keluarga pasien
5. Jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien.

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA

TINJAUAN TEORI
Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
1. Minor
• SKG 13 – 15
• Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
• Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
• SKG 9 – 12
• Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
• Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
• SKG 3 – 8
• Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

Etiologi
• Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
• Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
• Cedera akibat kekerasan.

Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

Manifestasi Klinis
o Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
o Kebungungan
o Iritabel
o Pucat
o Mual dan muntah
o Pusing kepala
o Terdapat hematoma
o Kecemasan
o Sukar untuk dibangunkan
o Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

Komplikasi
 Hemorrhagie
 Infeksi
 Edema
 Herniasi

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
 Rotgen Foto
 CT Scan
 MRI

Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
 Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
 Pemeriksaan fisik
 Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
 Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
 Sistem saraf :
 Kesadaran à GCS.
 Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
 Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
 Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
 Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
 Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
 Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
 Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
 Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
 Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
 Pemberian oksigen sesuai program.

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
 Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
 Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
 peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
 tekanan pada vena leher.
 pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
 Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
 Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
 Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
 Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
 Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
 Monitor intake dan out put.
 Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
 Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
 Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
 Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
 Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
 Perawatan kateter bila terpasang.
 Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
 Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.

4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji intake dan out put.
 Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
 Berikan cairan intra vena sesuai program.

5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Anak terbebas dari injuri.
Intervensi :
 Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
 Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
 Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
 Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
 Berikan analgetik sesuai program.

6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
 Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
 Kurangi rangsangan.
 Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
 Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
 Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan : Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi :
 Kaji adanya drainage pada area luka.
 Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
 Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
 Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.

8. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan : Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi :
 Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
 Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
 Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
 Gunakan komunikasi terapeutik.

9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi :
 Lakukan latihan pergerakan (ROM).
 Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
 Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
 Kaji area kulit: adanya lecet.
 Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.

KESIMPULAN
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).

Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
• Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
• Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
• Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
• Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

Diagosa keperawatan

PENGERTIAN

Diagnosis Keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah status kesehatan klien (Carpenito, 2000; Gordon, 1976 & NANDA).

Diagnosis keperawatan ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data yang diperoleh dari pengkajian keperawatan klien. Diagnosis keperawatan memberikan gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata (aktual) dan kemungkinan akan terjadi, dimana pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat.

KOMPONEN DIAGNOSIS KEPERAWATAN

Rumusan diagnosis keperawatan mengandung tiga komponen utama, yaitu :

1. Problem (P/masalah), merupakan gambaran keadaan klien dimana tindakan keperawatan dapat diberikan. Masalah adalah kesenjangan atau penyimpangan dari keadaan normal yang seharusnya tidak terjadi.

Tujuan : menjelaskan status kesehatan klien atau masalah kesehatan klien secara jelas dan sesingkat mungkin. Diagnosis keperawatan disusun dengan menggunakan standart yang telah disepakati (NANDA, Doengoes, Carpenito, Gordon, dll), supaya :

  1. Perawat dapat berkomunikasi dengan istilah yang dimengerti secara umum
  2. Memfasilitasi dan mengakses diagnosa keperawatan
  3. Sebagai metode untuk mengidentifikasi perbedaan masalah keperawatan dengan masalah medis
  4. Meningkatkan kerjasama perawat dalam mendefinisikan diagnosis dari data pengkajian dan intervensi keperawatan, sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.

2. Etiologi (E/penyebab), keadaan ini menunjukkan penyebab keadaan atau masalah kesehatan yang memberikan arah terhadap terapi keperawatan. Penyebabnya meliputi : perilaku, lingkungan, interaksi antara perilaku dan lingkungan.

Unsur-unsur dalam identifikasi etiologi :

  1. Patofisiologi penyakit : adalah semua proses penyakit, akut atau kronis yang dapat menyebabkan / mendukung masalah.
  2. Situasional : personal dan lingkungan (kurang pengetahuan, isolasi sosial, dll)
  3. Medikasi (berhubungan dengan program pengobatan/perawatan) : keterbatasan institusi atau rumah sakit, sehingga tidak mampu memberikan perawatan.
  4. Maturasional :

Adolesent : ketergantungan dalam kelompok

Young Adult : menikah, hamil, menjadi orang tua

Dewasa : tekanan karier, tanda-tanda pubertas.

3. Sign & symptom (S/tanda & gejala), adalah ciri, tanda atau gejala, yang merupakan informasi yang diperlukan untuk merumuskan diagnosis keperawatan.

Jadi rumus diagnosis keperawatan adalah : PE / PES.

PERSYARATAN PENYUSUNAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Perumusan harus jelas dan singkat dari respon klien terhadap situasi atau keadaan yang dihadapi

2. Spesifi dan akurat (pasti)

3. Dapat merupakan pernyataan dari penyebab

4. Memberikan arahan pada asuhan keperawatan

5. Dapat dilaksanakan oleh perawat

6. Mencerminan keadaan kesehatan klien.

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MENENTUKAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Berorientasi kepada klien, keluarga dan masyarakat

2. Bersifat aktual atau potensial

3. Dapat diatasi dengan intervensi keperawatan

4. Menyatakan masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat, serta faktor-faktor penyebab timbulnya masalah tersebut.

ALASAN PENULISAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif

2. Memberikan kesatuan bahasa dalam profesi keperawatan

3. Meningkatkan komunikasi antar sejawat dan profesi kesehatan lainnya

4. Membantu merumuskan hasil yang diharapkan / tujuan yang tepat dalam menjamin mutu asuhan keperawatan, sehingga pemilihan intervensi lebih akurat dan menjadi pedoman dalam melakukan evaluasi

5. Menciptakan standar praktik keperawatan

6. Memberikan dasar peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.

PROSES PENYUSUNAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Klasifikasi & Analisis Data

Pengelompokkan data adalah mengelompokkan data-data klien atau keadaan tertentu dimana klien mengalami permasalahan kesehatan atau keperawatan berdasarkan kriteria permasalahannya. Pengelmpkkan data dapat disusun berdasarkan pola respon manusia (taksonomi NANDA) dan/atau pola fungsi kesehatan (Gordon, 1982);

Respon Manusia (Taksonomi NANDA II) :

  1. Pertukaran
  2. Komunikasi
  3. Berhubungan
  4. Nilai-nilai
  5. Pilihan
  6. Bergerak
  7. Penafsiran
  8. Pengetahuan
  9. Perasaan

Pola Fungsi Kesehatan (Gordon, 1982) :

  1. Persepsi kesehatan : pola penatalaksanaan kesehatan
  2. Nutrisi : pola metabolisme
  3. Pola eliminasi
  4. Aktivitas : pola latihan
  5. Tidur : pola istirahat
  6. Kognitif : pola perseptual
  7. Persepsi diri : pola konsep diri
  8. Peran : pola hubungan
  9. Seksualitas : pola reproduktif
  10. Koping : pola toleransi stress
  11. Nilai : pola keyakinan

2. Mengindentifikasi masalah klien

Masalah klien merupakan keadaan atau situasi dimana klien perlu bantuan untuk mempertahankan atau meningkatkan status kesehatannya, atau meninggal dengan damai, yang dapat dilakukan oleh perawat sesuai dengan kemampuan dan wewenang yang dimilikinya

Identifikasi masalah klien dibagi menjadi : pasien tidak bermasalah, pasien yang kemungkinan mempunyai masalah, pasien yang mempunyai masalah potensial sehingga kemungkinan besar mempunyai masalah dan pasien yang mempunyai masalah aktual.

  1. Menentukan kelebihan klien

Apabila klien memenuhi standar kriteria kesehatan, perawat kemudian menyimpulkan bahwa klien memiliki kelebihan dalam hal tertentu. Kelebihan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan atau membantu memecahkan masalah yang klien hadapi.

  1. Menentukan masalah klien

Jika klien tidak memenuhi standar kriteria, maka klien tersebut mengalami keterbatasan dalam aspek kesehatannya dan memerlukan pertolongan.

  1. Menentukan masalah yang pernah dialami oleh klien

Pada tahap ini, penting untuk menentukan masalah potensial klien. Misalnya ditemukan adanya tanda-tanda infeksi pada luka klien, tetapi dari hasil test laboratorium, tidak menunjukkan adanya suatu kelainan. Sesuai dengan teori, maka akan timbul adanya infeksi. Perawat kemudian menyimpulkan bahwa daya tahan tubuh klien tidak mampu melawan infeksi.

  1. Penentuan keputusan

- Tidak ada masalah, tetapi perlu peningkatan status dan fungsi (kesejahteraan) : tidak ada indikasi respon keperawatan, meningkatnya status kesehatan dan kebiasaan, serta danya inisiatif promosi kesehatan untuk memastikan ada atau tidaknya masalah yang diduga.

- Masalah kemungkinan (possible problem) : pola mengumpulkan data yang lengkap untuk memastikan ada atau tidaknya masalah yang diduga

- Masalah aktual, resiko, atau sindrom : tidak mampu merawat karena klien menolak masalah dan pengobatan, mulai untuk mendesain perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi untuk mencegah, menurunkan, atau menyelesaikan masalah.

- Masalah kolaboratif : konsultasikan dengan tenaga kesehatan profesional yang ompeten dan bekerja secara kolaboratif pada masalah tersebut. Masalah kolaboratif adalah komplikasi fisiologis yang diakibatkan dari patofisiologi, berhubungan dengan pengobatan dan situasi yang lain. Tugas perawat adalah memonitor, untuk mendeteksi status klien dan kolaboratif dengan tenaga medis guna pengobatan yang tepat.

3. Memvalidasi diagnosis keperawatan

Adalah menghubungkan dengan klasifikasi gejala dan tanda-tanda yang kemudian merujuk kepada kelengkapan dan ketepatan data. Untuk kelengkapan dan ketepatan data, kerja sama dengan klien sangat penting untuk saling percaya, sehingga mendapatkan data yang tepat.

Pada tahap ini, perawat memvalidasi data yang ada secara akurat, yang dilakukan bersama klien/keluarga dan/atau masyarakat. Validasi tersebut dilaksanakan dengan mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang reflektif kepada klien/keluarga tentang kejelasan interpretasi data. Begitu diagnosis keperawatan disusun, maka harus dilakukan validasi.

4. Menyusun diagnosis keperawatan sesuai dengan prioritasnya

Setelah perawat mengelompokkan, mengidentifikasi, dan memvalidasi data-data yang signifikan, maka tugas perawat pada tahap ini adalah merumuskan suatu diagnosis keperawatan. Diagnosa keperawatan dapat bersifat aktual, resiko, sindrom, kemungkinan dan wellness.

Menyusun diagnosis keperawatan hendaknya diurutkan menurut kebutuhan yang berlandaskabn hirarki Maslow (kecuali untuk kasus kegawat daruratan — menggunakan prioritas berdasarkan “yang mengancam jiwa”) :

  1. Berdasarkan Hirarki Maslow : fisiologis, aman-nyaman-keselamatan, mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri
  2. Griffith-Kenney Christensen : ancaman kehidupan dan kesehatan, sumber daya dan dana yang tersedia, peran serta klien, dan prinsip ilmiah dan praktik keperawatan.

KATEGORI DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Diagnosis Keperawatan Aktual

Diagnosis keperawatan aktual (NANDA) adalah diagnosis yang menyajikan keadaan klinis yang telah divalidasikan melalui batasan karakteristik mayor yang diidentifikasi. Diagnosis keperawatan mempunyai empat komponen : label, definisi, batasan karakteristik, dan faktor yang berhubungan.

Label merupakan deskripsi tentang definisi diagnosis dan batasan karakteristik. Definisi menekankan pada kejelasan, arti yang tepat untuk diagnosa. Batasan karakteristik adalah karakteristik yang mengacu pada petunjuk klinis, tanda subjektif dan objektif. Batasan ini juga mengacu pada gejala yang ada dalam kelompok dan mengacu pada diagnosis keperawatan, yang teridiri dari batasan mayor dan minor. Faktor yang berhubungan merupakan etiologi atau faktor penunjang. Faktor ini dapat mempengaruhi perubahan status kesehatan. Faktor yang berhubungan terdiri dari empat komponen : patofisiologi, tindakan yang berhubungan, situasional, dan maturasional.

Contoh diagnosis keperawatan aktual : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan transport oksigen, sekunder terhadap tirah baring lama, ditandai dengan nafas pendek, frekuensi nafas 30 x/mnt, nadi 62/mnt-lemah, pucat, sianosis.

2. Diagnosis Keperawatan Resiko

Diagnosis keperawatan resiko adalah keputusan klinis tentang individu, keluarga atau komunitas yang sangat rentan untuk mengalami masalah dibanding individu atau kelompok lain pada situasi yang sama atau hampir sama.

Validasi untuk menunjang diagnosis resiko adalah faktor resiko yang memperlihatkan keadaan dimana kerentanan meningkat terhadap klien atau kelompok dan tidak menggunakan batasan karakteristik. Penulisan rumusan diagnosis ini adalag : PE (problem & etiologi).

Contoh : Resiko penularan TB paru berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang resiko penularan TB Paru, ditandai dengan keluarga klien sering menanyakan penyakit klien itu apa dan tidak ada upaya dari keluarga untuk menghindari resiko penularan (membiarkan klien batuk dihadapannya tanpa menutup mulut dan hidung).

3. Diagnosis Keperawatan Kemungkinan

Merupakan pernyataan tentang masalah yang diduga masih memerlukan data tambahan dengan harapan masih diperlukan untuk memastikan adanya tanda dan gejala utama adanya faktor resiko.

Contoh : Kemungkinan gangguan konsep diri : gambaran diri berhubungan dengan tindakan mastektomi.

4. Diagnosis Keperawatan Sejahtera

Diagnosis keperawatan sejahtera adalah ketentuan klinis mengenai individu, kelompok, atau masyarakat dalam transisi dari tingkat kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik. Cara pembuatan diagnsosis ini adalah dengan menggabungkan pernyataan fungsi positif dalam masing-masing pola kesehatan fungsional sebagai alat pengkajian yang disahkan. Dalam menentukan diagnosis keperawatan sejahtera, menunjukkan terjadinya peningkatan fungsi kesehatan menjadi fungsi yang positif.

Sebagai contoh, pasangan muda yang kemudian menjadi orangtua telah melaprkan fungsi positif dalam peran pola hubungan. Perawat dapat memakai informasi dan lahirnya bayi baru sebagai tambahan dalam unit keluarga, untuk membantu keluarga mempertahankan pola hubungan yang efektif.

Contoh : perilaku mencari bantuan kesehatan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang peran sebagai orangtua baru.

5. Diagnosis Keperawatan Sindrom

Diagnosis keperawatan sindrom merupakan diagnosis keperawatan yang terdiri dari sekelompok diagnosis keperawatan aktual atau resiko, yang diduga akan muncul karena suatu kejadian atau situasi tertentu.

Contoh : sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

MASALAH KOLABORATIF

Masalah kolaboratif adalah masalah yang nyata atau resiko yang mungkin terjadi akibat komplikasi dari penyakit atau dari pemeriksaan atau akibat pengobatan, yang mana masalah tersebut hanya bisa dicegah, diatasi, atau dikurangi dengan tindakan keperawatan yang bersifat kolaboratif. Label yang digunakan adalah : Potensial Komplikasi (PK).

MENCEGAH KESALAHAN DALAM MEMBUAT DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Tidak menggunakan istilah medis. Jika harus, hanya sebatas memperjelas, dengan diberi pernyataan `sekunder terhadap`.

Ex : mastektomi b.d kanker

2. Tidak merumuskan diagnosis keperawatan sebagai suatu diagnosa medis

Ex : Resiko pneumonia

3. Jangan merumuskan diagnosis keperawatan sebagai suatu intervensi keperawatan

Ex : Menggunakan pispot sesering mungkin b.d dorongan ingin berkemih

4. Jangan menggunakan istilah yang tidak jelas. Gunakan istilah / pernyataan yang lebih spesifik.

Ex : Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d kesulitan bernafas

5. Jangan menulis diagnosis keperawatan yang mengulangi instruksi dokter

Ex : Instruksi untuk puasa

6. Jangan merumuskan dua masalah pada saat yang sama

Ex : Nyeri dan takut b.d prosedur operasi

7. Jangan menghubungkan masalah dengan situasi yang tidak dapat diubah

Ex : Resiko cedera b.d kebutaan

8. Jangan menuliskan etiologi atau tanda/gejala untuk masalah

Ex : Kongesti paru b.d tirah baring lama

9. Jangan membuat asumsi

Ex : Resiko perubahan peran b.d tidak berpengalaman menjadi ibu baru.

10. Jangan menulis pernyataan yang tidak bijaksana secara hukum

Ex : Kerusakan integritas kulit b.d posisi klien tidak diubah setiap 2 jam.

DOKUMENTASI DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Gunakan format PES untuk semua masalah aktual dan PE untuk masalah resiko

2. Catat diagnosis keperawtaan resiko ke dalam format diagnosis keperawatan

3. Gunakan istilah diagnosis keperawatan yang ada dalam NANDA ( terbaru : 2007 – 2008 )

4. Mulai pernyataan diagnosis keperawatan dengan mengidentifikasi informasi tentang data untuk diagnosis keperawatan

5. Masukkan pernyataan diagnosis keperawatan ke dalam daftar masalah

6. Hubungkan setiap diagnosis keperawatan ketika menemuan masalah perawatan

7. Gunakan diagnosis keperawatan sebagai pedoman untuk pengkajian, perencanaan, intervensi dan evaluasi.

Tujuan Dokumentasi Diagnosis Keperawatan :

1. Mengkomunikasikan masalah klien pada tim kesehatan

2. Mendemonstrasikan tanggung jawab dalam identifikasi masalah klien

3. Mengidentifikasi masalah utama untuk perkembangan intervensi keperawatan.

Diagnosis keperawatan saat ini dapat mengacu ke NANDA 2007-2008 dengan beberapa revisi diagnosis, contohnya:

“Gangguan pola tidur” (2005-2006) menjadi “Insomnia” (2007-2008).

Selain itu terdapat juga diagnosis keperawatan yang baru, diantaranya untuk peningkatan gula darah.